RIWAYAT HIDUP
Abdurrahman Wahid lahir dengan nama Abdurrahman ad-Dhakhil, dari
maknanya, “ad-Dhakhil” berarti “Sang Penakluk”, sebuah nama yang
diambil K.H. A. Wahid Hasyim, orang tuanya, dari
seorang perintis
Dinasti Umayyah yang telah membawa kejayaan Islam di Spanyol selama
berabad-abad. Pada proses perjalanan waktu, kata
“ad-Dhakhil” tidak cukup dikenal dan diganti nama “Wahid”, Abdurrahman
Wahid, dan kemudian lebih dikenal dengan panggilan Gus Dur. “Gus” adalah
panggilan untuk seorang anak kiai. “Gus” sebenarnya kependekan dari
ucapan “bagus”, sebuah harapan seorang ayah kepada anaknya agar menjadi
bagus.Selain itu “Gus” adalah panggilan kehormatan khas pesantren kepada seorang anak kiai yang berati “abang” atau “mas”.
Gus Dur (panggilan akrab dari K.H.
Abdurrahman Wahid) lahir pada tanggal 4 Agustus 1940 di Denanyar
Jombang, anak pertama dari enam bersaudara (lima saudara Gus Dur secara
berurutan adalah `Aisyah “Ny. Hj. `Aisyah Hamid Baidlawi”, Sholahuddin
“Ir. H. Sholahuddin Wahid”, Umar “dr. H. Umar Wahid”, Khodijah dan
Hasyim “H.M. Hasyim Wahid”). Ayahnya , K.H. Abdul Wahid Hasyim, adalah
putra dari K.H. Hasyim Asy`ari, pendiri pondok pesantren Tebuireng dan
pendiri Jam`iyah Nahdlatul Ulama (NU), organisasi terbesar di
Indonesia, bahkan barangkali di Dunia. Ibunya, Ny Hj Sholehah, juga
putri tokoh besar NU, K.H. Bisri Syansuri, pendiri pondok pesantren
Denanyar Jombang dan Rois `Aam syuriah PBNU.Dengan
demikian secara genetik, Gus Dur memang keturunan darah biru dan
menurut istilah Clifford Geertz, ia tergolong santri dan priyayi
sekaligus.
Gus Dur, baik dari trah ayah maupun ibu
adalah sosok yang menempati strata sosial tinggi dalam masyarakat
Indonesia, ia adalah cucu dari dua Ulama terkemuka NU dan tokoh besar
bangsa Indonesia. Lebih dari itu Gus Dur adalah keturunan Brawijaya IV
(Lembu Peteng) lewat dua jalur, yakni Ki Ageng Tarub I dan Joko Tingkir.
Meskipun demikian, perjalanan kehidupan Gus
Dur tidak mencerminkan kehidupan seorang Ningrat. Dia berproses dan
hidup sebagaimana layaknya masyarakat pada umumnya.
Gus Dur pada masa kecil belajar di pondok
pesantren Tebuireng Jombang, dalam usia lima tahun, ia sudah lancar
membaca al-Qur`an. Gurunya waktu itu adalah kakeknya sendiri, K.H.
Hasyim Asy`ari. Gus Dur kecil tidak seperti kebanyakan anak-anak
seusianya, ia tidak tinggal bersama ayahnya, akan tetapi ikut bersama
kakeknya. Semasa di rumah kakeknya itulah Gus Dur kecil mulai mengenal
dunia politik, dari orang-orang yang tiap hari hilir mudik di rumah
kakeknya.
Pada akhirnya, Gus Dur harus pindah ke
Jakarta, ketika ayahnya diangkat sebagai Menteri Agama Republik
Indonesia, yakni pada tahun 1950, lima tahun setelah Indonesia Merdeka.Gus Dur pun menyelesaikan sekolah dasarnya di Jakarta.
Untuk
menambah pengetahuannya Gus Dur pun dikirim untuk mengikuti
kursus-kursus pilihan yang ditentukan oleh orang tuanya, seperti les
privat bahasa Belanda dan oleh Willem Buhl gurunya disuguhi selingan
musik-musik klasik barat.Buku, bola, catur, musik dan film adalah lima hal yang tak pernah lepas dari sosok Gus Dur ketika masih kecil.
Pada saat kecil Gus Dur pernah bercita-cita
menjadi tentara, masuk AKABRI. Namun, cita-cita itu kandas, sebab pada
usia 14 tahun, ia harus memakai kaca mata minus. Selang kandasnya
cita-citanya, membuat Gus Dur semakin semangat “gila” dalam bergelut
dengan Buku, bola, catur, musik dan film. Pada akhirnya Gus Dur yang
ketika itu masih kecil merumuskan kembali cita-citanya yang sangat
sederhana, menjadi Guru ! “ saya hanya ingin menjadi guru bangsa,
seperti Ki Hajar, Ki Mangunsarkoro, Kakek saya Kiai Hasyim, dan
sebagainya,” ucapnya suatu ketika.
Setelah menamatkan dari sekolah dasar di
Jakarta, Gus Dur melanjutkan ke SMEP di Tanah Abang Jakarta, akan tetapi
setelah setahun, dia dipindahkan ke SMEP Gowongan Yogyakarta. Ibunya
berharap, kepindahannya ke Yogya selain agar ia bisa melepaskan diri
dari lingkungan lama di Jakarta, juga kembali pada latar belakangnya
sebagai anak kiai: mendekati pondok pesantren.
Memang sebenarnya Gus Dur sudah mengalami
pendidikan santri atau pesantren dan religiusitas dari kedua orang
tuanya. Ia belajar bahasa Arab ketika kecil dan mempunyai cukup
pengetahuan untuk dapat membaca Al-Qur`an dengan suara keras. Setelah
beranjak remaja pun ia belajar bahasa Arab secara sistematik.
Ketika Gus Dur sekolah di SMEP Yogya,
diusahakan pula dan diatur bagaimana ia dapat pergi ke pesantren
Al-Munawwir di Krapyak tiga kali. Di sini ia belajar bahasa Arab dengan
K.H. Ali Ma`sum.
Di kota Jogjalah minat baca dan kehausan Gus
Dur akan ilmu pengetahuan muncul dan semakin melesat jauh. Kota Jogja
merupakan kota pelajar, dengan kehadiran universitas dan banyak toko
buku, atau buku-buku yang dimiliki kenalan gurunya atau gurunya sendiri,
ataupun milik sang bapak kos. Dari sinilah Gus Dur mengalami masa
mencintai buku dan sering mengunjungi took buku secara rutin. Di kota
ini pula Gus dur menyukai pertunjukan wayang kulit. Selain itu kebiasaan
lamanya yang suka sekali menonton film menjadi rutinitas yang tak
pernah ditinggalkannya.
Setelah menamatkan sekolah di SMEP Yogya
pada tahun 1957, Gus Dur pindah ke Magelang di Pesantren Tegalrejo di
bawah asuhan kiai karismatik, kiai Khudori, dari sinilah Gus Dur
mempelajari secara penuh dunia pesantren berserta keilmuannya.
Pada saat yang sama, selama dua tahun Gus
Dur juga belajar paro waktu di Pesantren Denanyar Jombang di bawah
bimbingan kakeknya dari pihak ibu, Kiai Bisri Syansuri.setelah
itu Gus Dur melanjutkan ke pondok Pesantren Tambak Beras, di bawah
asuhan Kiai Wahab Hasbullah, dari pesantren ini hubungan Gus Dur dan
Kiai Wahab Hasbullah sangat kental, sehingga Ia mendapat dorongan untuk
berproses dalam tahap belajar mengajar, bahkan Gus Dur pernah menjadi
kepala madrasah Modern. Dari pesantren inilah minat Gus Dur mulai
bertambah, tidak hanya pada studi ke-Islaman, tetapi tertarik pada studi
tradisi sufistik dan mistik dari kebudayaan dan tradisi Islam. Inilah
awal dari kebiasaan Gus Dur yang sering berkunjung ke makam-makam para
wali, kiai, dan ulama pada tengah malam.
Pada akhirnya Gus Dur menyelesaikan studinya
yang ia geluti di Indonesia dan selanjutnya melanjutkan proses
belajarnya ke luar negeri. Sebagaimana dari keturunannya, Gus Dur memang
dari keluarga yang haus akan ilmu pengetahuan, jadi wajar bila Gus Dur
harus melanjutkan studinya sampai ke luar negeri.
Awal belajar di luar negeri, pada tahun
1964-1969. Gus Dur masuk di Departement of Higher Islamic and Arabic
Studies, Al-Azhar Islamic University, Cairo Mesir.
Perjalanan proses belajar Gus Dur di Mesir
tidak semulus dan semudah dijalankan, karena memang harus terganjal
dengan pengurusan terhadap pengakuan ijazahnya dan mata kuliah yang
sudah dipelajarinya di Indonesia.
Gus Dur merasa banyak hal dalam pelajaran
yang diulang ketika belajar di Mesir, sehingga ia begitu enggan
melakukan studi formalnya dan sering tidak masuk kuliah. Di sinilah ia
sering menyalurkan hobinya mengikuti pertandingan sepak bola, membaca di
perpustakaan-perpustakaan yang besar, menonton film-film Perancis, dan
ikut serta dalam diskusi di kedai-kedai kopi yang sangat menarik.Dengan
kondisi yang sedemikian, rupanya membuat Gus Dur agak kecewa dan bosan,
sehingga ia memutuskan untuk keluar dari Al-Azhar dan pindah ke
Baghdad.
Kemudian pada tahun 1970-1972 Gus Dur pindah kuliah di Fakultas Sastra Universitas Baghdad Irak.Di
sinilah Gus Dur mempunyai jadwal yang cukup ketat, mulai dari
memfokuskan diri pada riset mengenai sejarah Islam di Indonesia dan ia
pun diberikan akses yang mudah untuk pelaksanan tahapan risetnya. Ia
juga mempelajari bahasa Perancis di kota ini, yang tidak dilupakannya
adalah sering melakukan ziarah kubur ke makam-makam wali kelas dunia dan
mempertajam ilmu tasawufnya. Gus Dur tetaplah Gus Dur, meskipun tidak
lagi melakukan diskusi-diskusi di kedai kopi, karena ketatnya jadwalnya
akan tetapi ia menyempatkan menonton film di bioskop.
Setelah menamatkan masa studinya di Timur
Tengah, Gus Dur kemudian pindah ke Eropa untuk melanjutkan studi
pascasarjananya. Pada mulanya Gus Dur tinggal di Belanda dan
berkeinginan masuk di Universitas Leiden, akan tetapi yang terjadi pada
beberapa universitas Eropa termasuk Leiden tidak dapat menerima lulusan
dari Universitas Baghdad. Gus Dur pun kecewa dengan hal ini, untuk
mengurangi beban kekecewaannya ia pun berkelana selama setahun di Eropa
dan pada pertengahan tahun 1971 Gus Dur balik ke Indonesia.
Sekembalinya dari Eropa ke Indonesia, Gus
Dur pun masih saja tidak putus asa untuk melanjukan studinya ke negeri
Eropa, akhirnya Ia mendapatkan informasi adanya beasiswa ke McGill,
namun begitu niat sudah tertancap tapi urung terjadi, dikarenakan harus
melangsungkan resepsi pernikahannya. Kemudian setelah itu Gus Dur
tinggal di Jombang dan memulai langkah-langkah untuk mencari format
perubahan yang harus dilakukannya dengan cara berkeliling “silaturahim”
Jawa, yang nantinya membuat Gus Dur benar-benar mengurungkan niatnya
untuk melanjutkan studinya ke luar negeri.
Gus Dur menjadi pelajar keliling di Eropa,
belajar dari satu universitas ke universitas yang lain, pada akhirnya
juga sempat menetap di Belanda dan mendirikan Perkumpulan Pelajar Muslim
Indonesia dan Malaysia yang tinggal di Eropa.
Pada masa kuliahnya di luar negeri Gus Dur
juga memiliki masa-masa dalam bekerja, ketika di Mesir ia pernah
mendapat pekerjaan di kedutaan Indonesia untuk Mesir, kemudian ketika di
Baghdad ia bekerja di Ar-Ramadhani, perusahaan ini mengkhususnya impor
tekstil dari Eropa dan Amerika, ketika di Eropa Ia juga bekerja di
binatu milik orang Cina.ketika menetap di Belanda Gus Dur dua kali sebulan pergi ke pelabuhan untuk bekerja sebagai pembersih kapal tanker.
Beragam ilmu pengetahuan dan segala
prosesnya dalam kemandirian, seorang Gus Dur mampu menembus batas-batas
sisi kemanusiaan yang wajar, bahkan upaya untuk dapat mandiri dalam
hidupnya pun ia mampu.
Begitulah Gus Dur dalam kisahnya mencari
ilmu, selain diajar oleh guru informal yang kuat, bisa jadi Gus Dur juga
diberi karunia oleh Allah sehingga dapat cepat memahami sebuah bacaan
dan memiliki ingatan yang luar biasa akan bacaan tersebut. Mungkin
inilah yang menjadi dasar bagi seorang calon pemimpin di masa mendatang.
Dalam berproses membangun dan membina rumah
tangga Gus Dur, boleh dibilang cukup unik, perkenalannya di Jombang
sebagai guru dan murid kemudian melewati jarak yang cukup jauh, Gus Dur
di Kairo dan Nuriyah di Jombang. awalnya selama beberapa tahun di kairo,
Gus Dur terus menghubungi Nuriayah lewat surat menyurat yang sangat
teratur pada akhirnya Nuriyah pun menerima Gus Dur sebagai teman
hidupnya hingga melangsungkan pertunangan selama kurun waktu dua tahun,
setelah itu Gus Dur pun menikahi Nuriyah.
Gus Dur dikaruniai empat anak perempuan,
mereka yaitu, Alissa Qotrunnada, Zannuba Arifah Chafsoh, Anita
Hayatunnufus, dan Inayah Wulandari. Dalam mendidik anaknya Gus Dur juga
selalu menerapkan praktik demokrasi, tidak otoriter terhadap persoalan
yang dihadapi anak-anaknya, Gus Dur hanya mengarahkan dan memberikan
saran-saran dengan segala konsekwensi terhadap beragam pilihannya.
Masa perjuangan seorang Gus Dur memang
sangat panjang, berawal tapi bukan awal yang diinginkannya, proses itu
mengalir mulai dari sejak berada di Indonesia sampai di luar negeri pun
dilakukannya, mulai dari mengajar, menjadi kepala madrasah, membidangi
banyak aktifitas di luar negeri, menjadi komentator sosial dengan
menulis di berbagai media cetak, bergerak dalam lingkup LSM LP3ES, ketua
PBNU, hingga menjadi Presiden RI ke-4. kesadaran Gus Dur akan
pergerakan untuk menemukan perubahan yang ideal cukup kuat, ia sangat
anti kekerasan, teguh, tangguh dan konsisten.
Gus Dur menderita banyak penyakit, bahkan
sebelum menjabat sebagai Presiden sampai setelahnya, penyakit yang ia
alami seperti stroke, diabetes dan lainnya. Gus Dur wafat pada hari
Rabu, 30 Desember 2009, di rumah sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta,
pukul 18.45 wib, dikarenakan oleh penyakit yang dideritanya sejak lama.
Gus Dur wafat bertepatan dengan ulang tahun
ke-27 putri bungsunya, Inayah Wulandari, yang lahir pada 31 desember
1982, selama Gus Dur dirawat di Rumah sakit RSCM, Inayah Termasuk salah
satu putri Gus Dur yang paling rajin menjaga Gus Dur.
Menurut cerita, K.H. Salahudin Wahid, yang
akrab dipanggil Gus Sholah ia bertemu kakaknya, Gus Dur terakhir kali di
Jombang, sepekan sebelum wafatnya, yaitu Gus Dur ketika sedang
berziarah ke makam keluarga, saat itu Gus Sholah sudah memiliki firasat
tidak enak. Gus Sholah merasa kaget dan heran ketika Gus Dur bilang
”Dik, mengko tanggal 31 jemputen aku nang kene ! (dik, nanti tanggal 31
jemput saya disini)dan begitu juga banyak cerita
mengenangi sebelum wafatnya Gus Dur dan setelah Gus Dur wafat banyak
yang sadar bahwa Gus Dur sudah mengetahui waktu wafatnya. Semoga amal
ibadah Beliau diterima oleh Allah Swt.
Itulah yang terjadi pada sosok Gus Dur,
kesaktiannya hanya orang-orang tertentu yang mengetahuinya bahkan beliau
sanggup menyembunyikannya dengan baik, tanpa perlu harus diketahui
banyak orang. Sekarang bila kita mengamati, banyak orang yang melayat ke
kuburannya seperti layaknya makam-makam para Wali Allah “Wali Songo”,
banyak orang merasa kehilangan, menangisi kepergiannya. Beliau memang
guru spiritual baru beberapa kalangan muslim, begitu juga kalangan beda
agama di Indonesia maupun di Dunia.
KARYA-KARYANYA
Karya-karya
intelektual Gus Dur sejak awal 1970-an hingga akhir 1990-an, karya
intelektual itu tersebar dalam berbagai bentuk tulisan dan dapat
diklasifikasikan sebagai berikut, dalam bentuk buku sebanyak 12, 1 buku
terjemahan, 20 kata pengantar buku, 1 epilog buku, 41 antologi buku, 105
tulisan dalam bentuk kolom, 50 makalah, 263 artikel yang tersebar dalam
berbagai majalah, surat kabar, jurnal, dan media massa.
Tim peneliti dari INCReS
(Institut of Culture and Religion Studies) secara simpel memberikan
gambaran dari karya-karya besar yang dihasilkan dari pemikiran seorang
Gus Dur, karya tersebut dikelompokkan ke dalam tujuh tema pokok, ketujuh
tema pokok ini juga menandai gagasan besar yang menjadi perhatian Gus
Dur selama ini. Tujuh hal itu adalah pandangan dunia pesantren,
pribumisasi Islam, keharusan demokrasi, finalitas negara-bangsa
Pancasila, pluralisme agama, humanitarinisme universal dan antropologi
kiai.
- Guru Madrasah Mu`allimat, Jombang (1959-1953)
- Dosen Universitas Hasyim Asy`ari, Jombang (1972-1974)
- Dekan Fakultas Ushuludin Universitas Hasyim Asy`ari, Jombang (1972-1974)
- Sekretaris Pesantren Tebuireng, Jombang (1974-1979)
- Pengasuh Pondok Pesantren Ciganjur, Jakarta (1976-2009)
- Pendiri dan anggota Fordem (forum Demokrasi), 1990.
- NU (Nahdlatul Ulama), katib Awwal PBNU 1980-1984, Ketua dewan Tanfidz PBNU, 1994-2000.
- Pendiri PKB (Partai Kebangkitan Bangsa)
- P3M (Pusat Pengembangan Pemberdayaan Pesantren dan Masyarakat)
- Pendiri The Wahid Institut.
- Gerakan Moral rekonsiliasi Nasional, 2003, sebagai penasihat.
- Solidaritas korban pelanggaran ham, 2002, sebagai penasihat.
- Festifal Film Indonesia, 1986-1987, sebagai juri.
- Ketua Umum Dewan Kesenian Jakarta, 1982-1985.
- Himpunan Pemuda Pelajar Indonesia di Cairo Mesir, 1965, sebagai wakil ketua.
- Non Violence Peace Movement, Seoul, Korea Selatan Presiden, 2003-sampai beliau meninggal.
- International Strategic Dialogue Center, Universitas Netanya, Israel.
- Anggota dewan Internasional bersama Mikhail Gorbachev, ehud barak dan carl bild, 2003-sampai beliau meninggal.
- International Islamic Christian Organization for Reconciliation and Reconstrukction (IICORR), London, Inggris. Sebagai presiden kehormatan, 2003-sampai beliau meninggal.
- International and Interreligious Federation for World Peace (IIFWP). New York, Amerika Serikat. Anggota dewan penasihat Internasional. 2002-sampai beliau meninggal.
- Association of Muslim Community Leaders (AMCL), New York, Amerika Serikat, Presiden, 2002.
- Shimon Perez Center for Peace, Tel Aviv, Israel. Pendiri dan anggota. 1994-sampai beliau meninggal.
- World Conference on Religion and Peace (WCRP), New York, Amerika Serikat, Presiden, 1994-1998.
- International dialogue project for area study and law, den hag, belanda, sebagai penasihat, 1994.
- The Aga khan Award for Islamic Architecture, anggota dewan juri, 1980-1983.
Dengan kegigihannya dalam perjuangan dan
pemikirannya atas kemanusiaan baik di Indonesia maupun di dunia Gus Dur
banyak sekali mendapatkan gelar kehormatan dari berbagai lembaga dan
mendapat berbagai penghargaan dari berbagai lembaga lokal, nasional
maupun internasional.
Kemudian Gus Dur juga diakui kapasitasnya di kalangan akademik sehingga beberapa kali mendapat gelar dari berbagai universitas.
PEMIKIRANNYA
Gus Dur memang
memiliki pemikiran yang cukup unik dan jernih. Boleh dibilang
pemikirannya mampu melewati zamannya, karena banyak orang harus
memikirkan dengan keras apa yang menjadi pemikirannya. Ia juga dikenal
sangat kontroversial.
Gus Mus menyebut pemikiran Gus Dur sebagai pelajaran Tuhan, sampai
saat ini, pastilah belum−atau tak pernah−ada orang yang bisa menandingi
Gus Dur dalam banyaknya mengumpulkan julukan. Keluasan pergaulan dan
perhatian Gus Dur niscaya sangat berperan dalam pengumpulan julukan itu.
Mereka yang melihat betapa Gus Dur begitu `fanatik` dan gigihnya
menyesuaikan sikapnya dengan firman Allah “Walaqod karramna banii Adama…”(Q.
17:70), mungkin akan menjulukinya humanis. Mereka yang melihatnya
begitu `taat` dan gigih mengikuti jejak orang tua dan kakeknya dalam
mencintai tanah air, mungkin akan menjulukinya nasionalis, mereka yang
melihatnya sebagai orang yang memiliki tingkat kualitas spiritual,
mungkin akan menjulukinya seorang wali. Demikian seterusnya.
Perjuangan pemikiran Gus Dur mampu melewati
semua jenis disiplin ilmu, mulai dari agama, filsafat, tasawuf, tata
bahasa, kebudayaan dan kesenian, humor, demokrasi, pluralisme,
humanisme, nasionalisme. Dengan ide-idenya yang cemerlang, pemikiran Gus
Dur mampu menjadi komentator sosial yang mampu membuat gelisah dan
menyadarkan banyak kalangan terutama pemerintahan saat itu.
Perkembangan intelektual Gus Dur dibentuk
oleh pendidikan Islam klasik dan pendidikan barat modern. Faktor-faktor
ini merupakan prasyarat baginya untuk mengembangkan ide-idenya. Dalam
kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan perjalanan, membaca, dan
memperdebatkan ide, Gus Dur mensintesiskan kedua dunia pendidikan ini.
Mungkin ia mengerjakan hal ini lebih lengkap daripada mayoritas
intelektual di Indonesia, yang kemudian membuat Gus Dur menjadi bagian
dari gerakan baru dalam pemikiran Islam di Indonesia.
Penekanan pemikiran Gus Dur lebih mengisyaratkan pada hal-hal yang
lebih substansial, mengajarkan kepada kita untuk selalu toleran,
terbuka, dan inklusif.
Menurut Greg Barton, pemikiran Gus Dur, ia
kategorikan dalam salah satu cendekiawan Neo-Modernis. Di antara
karakter intelektual yang digolongkannya dalam kelompok Neo-modernis
bahwa dalam memahami ajaran Islam banyak mewarisi semangat Muhammad
Abduh dalam rasionalisme berijtihad secara konstekstual. Berusaha memuat
sintesis antara khazanah klasik dengan keharusan berijtihad, serta
apresiatif dengan gagasan barat terutama dalam ilmu-ilmu social dan
humaniora. Neo-Modernis sangat mengedepankan pemahaman Islam yang
terbuka, inklusif terutama dalam menerima realitas faktual pluralisme
masyarakat yang ada, condong untuk menekankan sikap toleran dan harmoni
dalam hubungan antar komunitas.
Keluwesan Gus Dur dalam mengkonstruksikan
pemikirannya tidak dapat dipungkiri. Seperti halnya perihal negara
“Indonesia” yang harus diIslamkan, Gus Dur jelas-jelas mempertanyakan
konsep ini, baginya negara yang dikonsepkan menurut Islam tidak memiliki
kejelasan formatnya. Nabi meninggalkan Madinah tanpa ada kejelasan
mengenai bentuk pemerintahan bagi kaum muslimin. Tentang negara Islam
yang dipikirkan sebagian orang itu hanya memandang Islam dari sudut
institusionalnya saja. Selama tidak ada kejelasan tentang hal di atas, sebenarnya sia-sia saja diajukan klaim bahwa Islam memiliki konsep kenegaraan.
Kemudian Gus Dur berhasil menyelesaikan
pertentangan antara negara dan masyarakat, dimana pada masa orde baru
Negara terlalu kuat atau otoritarian, sementara masyarakat terlalu
lemah. Ia dengan pemikiran dan pengembangan gerakan kemasyarakatan
berhasil mengurangi sifat otoritarianisme negara dan pada saat yang sama
sukses memberdayakan masyarakat dengan munculnya kekuatan masyarakat
sipil (civil society). Perjuangan Gus Dur
terhadap demokrasi untuk negara, sudah bukan menjadi rahasia lagi,
banyak orang yang mengetahui dan mengenal. Pemikiran Gus Dur tentang
Indonesia yang dicita-citakan adalah menjadi negara yang demokrasi yang
memiliki pengaruh kecil terhadap militer dan tidak ada fundamentalisme
dalam agama. Baginya di kehidupan yang modern ini demokrasilah yang
dapat mempersatukan beragam arah kecenderungan kekuatan-kekuatan bangsa.
Demokrasi menjadi sedemikian penting dalam sebuah negara yang
pluralistik karena ternyata dalam berkehidupan kebangsaan yang utuh
hanya bisa tercapai dan tumbuh dalam suasana demokratis
meskipun demokrasi untuk saat ini di Indonesia masih menjadi proses
diskusi, tapi suatu saat akan tercapai demokrasi yang sebenarnya.
Gus Dur
sebagai satu-satu nya orang yang pertama kali mensuarakan kembali
terhadap gagasan pribumisasi Islam. Dengan artian yang dipribumikan itu
manifestasi kehidupan Islam, bukan ajaran yang menyangkut inti keimanan
dan peribadatan formalnya. Bukan upaya
menghindarkan timbulnya perlawanan dari kekuatan-kekuatan budaya
setempat, tetapi justru agar budaya itu tidak hilang.
Ini yang telah dilakukan para pelopor dakwah “wali songo” dalam proses
Islamisasi di Indonesia. Bisa dilihat bahwa pemikiran dan gerakan Gus
Dur tidak jauh berbeda dengan para wali bisa disebut juga sufi.
Gus Dur menyatukan kebudayaan dan
keberagamaan, menurutnya, agama “Islam” dan budaya mempunyai
independensi masing-masing, tetapi keduanya mempunyai wilayah tumpang
tindih. Manusia tidak dapat beragama tanpa budaya, karena kebudayaan
merupakan kreativitas manusia yang dapat menjadi salah satu bentuk
ekspresi keberagaman. Tetapi tidak dapat disimpulkan bahwa agama adalah
kebudayaan. Di antara keduanya terjadi tumpang tindih dan saling mengisi
namun tetap memiliki perbedaan. Agama bersumber pada wahyu dan memiliki
norma-norma sendiri. Norma-norma agama bersifat normatif, karenanya ia
cenderung menjadi permanen. Sedangkan budaya adalah kreativitas manusia,
karenanya ia berkembang sesuai dengan perkembangan zaman dan cenderung
untuk selalu berubah. Perbedaan ini tidak menghalangi kemungkinan
manifestasi kehidupan beragama dalam bentuk budaya. Perspektif demikian
menempatkan agama dalam fungsinya sebagai wahana pengayoman tradisi
bangsa dan pada saat yang sama agama menjadikan kehidupaan berbangsa
sebagai wahana pematangan dirinya.
Gus Dur
dikenal juga sebagai sosok yang humoris. Pemikiran dan sikap kritisnya
terhadap realitas kehidupan sering disampaikan melalui humor, sehingga
yang setuju maupun tidak sama-sama tertawa. Bahkan ia disejajarkan
dengan filsuf Yunani, Socrates, yang gemar melontarkan komentar-komentar
humoristis. Perlawanan yang Gus Dur lakukan
mungkin banyak tidak diketahui orang, bahwa sebenarnya ia sedang
mengadakan perubahan dan kritik besar besaran yang disampaikannya lewat
lelucon.
Di dunia internasional pun pemikiran Gus Dur
diterima banyak kalangan intelektual dunia. Bahkan banyak yang
melakukan penelitian secara khusus terhadap pola dan gaya pikirannya.
Tidak aneh pula bila beragam penghargaan didapatkan Gus Dur dari dunia
internasional.
Gus Dur adalah
representasi paling genuin dari dua kultur yang terus menerus bertahan
dan berkembang di lingkungan NU. Yang pertama adalah kultur kiai dengan
pesantrennya yang menjadi jagad kecilnya NU. Yang kedua adalah kultur
kaum muda NU yang menandai konvergensi NU dengan dunia modern. Ia juga membangun pemikirannya sebagai gerakan sosial yang secara cerdas bisa menempatkan NU dalam posisi yang strategis. Lewat NU juga Gus Dur melakukan perubahan besar-besaran dan mendasar terhadap NU sendiri maupun bangsa dan negara.
Pemikiran Gus
Dur memiliki kekuatan aroma sufistik. Seperti gagasannya tentang Tuhan
tidak perlu dibela, ia menuturkan bahwasannya, Al-Hujwiri mengatakan,
bila engkau menganggap Allah ada hanya karena engkau yang merumuskannya,
hakikatnya engkau sudah menjadi kafir. Allah tidak perlu disesali kalau
“Ia menyulitkan” kita. Juga tidak perlu dibela kalau orang menyerang
hakikat-Nya, Yang di takuti berubah adalah persepsi manusia atas hakikat
Allah, dengan kemungkinan kesulitan yang diakibatkannya. Gus Dur menghiasi serta menjalankan jalan pikirannya sama halnya dengan guru tarekat itu.
Dalam pemikiran spiritual Gus Dur bisa
disebut sebagai sufi sejati. Ia pemaaf, meski kepada musuh yang jahat
sekalipun. Meski dicaci karena membela non-muslim ia sabar dan tenang,
tidak pernah menaruh dendam kepada siapapun, tidak pernah takut
menghadapi apapun, ikhlas, tampa pamrih, dan sebagainya yang mencorakkan
Gus Dur pada sisi sufistik. Seorang sufi selalu menggabungkan kerja
keras dan kepasrahan kepada Tuhan secara total.
Gus Dur dianggap wali “sufi” di mata pengikutnya dan orang-orang
teraniaya. Pemikiran, pembelaan dan perjuangan Gus Dur sepanjang
hidupnya, menunjukkan bahwa ia memiliki sifat-sifat seorang wali, tanpa
harus dipaksakan atau diperdebatkan untuk disebut sebagai wali.
Gus Dur memang sudah menjadi fenomena yang
menarik sekaligus unik, terutama dalam kancah pemikiran Islam di
Indonesia bahkan diperhitungkan dalam wacana politik. sementara itu, ia
mampu mengadakan perubahan besar-besaran di kalangan Nahdliyyin.
Menjadikan dirinya sebagai sebuah tumpuan tempat berkonsultasi,
menyampaikan keluhan, dan mencari informasi, kadang-kadang juga dimintai
restu dari berbagai pihak dan lapisan masyarakat. Gus Dur tampaknya
bukan lagi seorang figur, ia sudah menjadi simbol atau bahkan sebuah
mitos. Bagi Gus Dur seorang tokoh akan diketahui tingkat keberhasilannya dengan jelas dalam memajukan umat, jika produk-produk ijtihad-nya dapat dirasakan implikasinya bagi dinamika kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
0 comments:
Posting Komentar